Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah yang diselenggarakan di gedung Balairung Universitas PGRI Semarang untuk memeriahkan bulan Bahasa pada tanggal 19 Oktober 2015 berlangsung ramai. Acara yang di mulai pukul 09.00 WIB berjalan cukup lancar. Pada awal acara diisi kegiatan amal yang diawali oleh pembawa acara membuat gempar penonton di Balairung karena tantangan yang di berikan kepada dosen dan mahasiswa UPGRIS. Hasil dari tantangan yang terkumpul yaitu berupa uang senilai Rp.570.000,00 dan akan digunakan untuk kegiatan sosial. Setelah menunggu beberapa menit, bapak Dr. Muhdi, SH., M.Hum. selaku Rektor Unniversitas PGRI Semarang memberikan sambutan dan di lanjutkan sambutan singkat oleh Ketua YPLPP. Kemudian setelah sambutan dilanjutkan acara nonton wayang kampung sebelah dengan tema “Mawas Diri Menakar Berani” yang didalangi oleh Ki Jlitheng Suparman.
Pemilihan Kepala Desa
Di sebuah desa yang bernama Desa Bangun Jiwo sedang terjadi musim kampanye. Awal kisah ini adalah adanya salah seorang kandidat calon kepala desa yang bernama pak Klungsur yang berniat hendak menghilangkan kesengsaraan di desa tersebut. Setelah pemilihan selesai,mbah Sidik memimpin penghitungan suara pilkades. Mendadak papan tulis untuk mencatat penghitungan suara hilang. Parjo selaku kepala keamanan ditanya oleh mbah sidik kebingungan karena tak tahu keberadaan papan tulis tersebut. Begitu pun Sodrun ketika ditanya malah salah persepsi merasa dituding sebagai biang hilangnya papan tulis. Usut punya usut, papan tulis itu ternyata disimpan kembali oleh Suto Coro sebagai kepala rumah tangga kelurahan. Ia tidak merasa bersalah menyimpan kembali papan tulis itu karena panitia menggunakan peralatan kantor kelurahan tanpa seijin dia. Terjadi perdebatan sengit antara Suto Coro dan Mbah Sidik yang berakhir dengan kesanggupan Suto Coro meminjamkan papan tulis.
Parjo memberikan hasil penghitungan suara yang sudah dilakukan saat Mbah Sidik sibuk berurusan dengan papan tulis. Mbah Sidik lantas membacakan hasil penghitungan suara yang menempatkan Somad sebagai pemenang pilkades. Somad diminta menandatangani berita acara penetapan pemenang, sambil secara tersamar Mbah Sidik meminta bonus upaya pemenangan kepada Somad. Parjo mempertanyakan posisi Mbah Sidik yang sebagai panitia ternyata diam-diam memihak dengan money politik kepada salah satu kontestan. Jika ketahuan orang maka niscaya akan menuai masalah. Mbah Sidik sudah siap dengan resiko itu, siapa pun yang memprotes tindakannya akan dilabraknya.
Parjo memberikan hasil penghitungan suara yang sudah dilakukan saat Mbah Sidik sibuk berurusan dengan papan tulis. Mbah Sidik lantas membacakan hasil penghitungan suara yang menempatkan Somad sebagai pemenang pilkades. Somad diminta menandatangani berita acara penetapan pemenang, sambil secara tersamar Mbah Sidik meminta bonus upaya pemenangan kepada Somad. Parjo mempertanyakan posisi Mbah Sidik yang sebagai panitia ternyata diam-diam memihak dengan money politik kepada salah satu kontestan. Jika ketahuan orang maka niscaya akan menuai masalah. Mbah Sidik sudah siap dengan resiko itu, siapa pun yang memprotes tindakannya akan dilabraknya.
Kampret bertandang ke rumah Karyo mengajak ngobrol tentang suksesnya pilkades dengan pemenang Pak Somad. Karyo menanggapi dingin. Gegap gempitanya pesta demokrasi pilkades dia yakini tak mengubah apa-apa. Demokrasi di desa Bangunjiwo adalah wajah demokrasi negara ini. Hasilnya, Karyo tetap saja melarat. Pendidikan dan kesehatan tetap saja mahal. Korupsi makin merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Hutang negara bukan berkurang malah makin membengkak. Negara ini kaya raya, kekayaan itu semestinya berlebih kalau sekedar untuk menyejahterakan rakyat. Ironisnya segala bentuk bantuan atau subsidi untuk orang miskin bukan berasal dari kekayaan negara melainkan dana hutang atau pinjaman dari luar negeri. Lantas kemana menguapnya seluruh kekayaan negara ini? Sebentar lagi BBM mau naik, tentu harga semua barang nggak mungkin diam saja, pasti ikut meroket. Artinya, perhatian untuk rakyat miskin tak lebih bermakna hiburan sesaat bagi rakyat yang sekarat. Karyo dan seluruh rakyat miskin di negara ini lantas bisa apa? Mau mengadu ke siapa? Mau berlindung ke mana?
Untuk jeda dari kepenatan beban pikir, Kampret mengajak Karyo menyaksikan panggung hiburan dalam rangka tasyakuran kemenangan Somad sebagai lurah baru Desa Bangunjiwo.
Ketika tasyakuran,diadakanlah sebuah hiburan.Sederet artis berkiprah di atas panggung menghibur penonton yang memadati acara tasyakuran Lurah Somad,antara lain Bang koma ra mari-mari,Syahmarni,Bob Marna,dan Minul darah tinggi.Tiba-tiba Jhony naik ke atas panggung. Ia berorasi mengecam dan memprotes kemenangan Lurah Somad yang dianggap penuh kecurangan. Apa jadinya desa ini jika dipimpin oleh orang yang sejak berangkat meraih jabatan telah menghalalkan kecurangan. Kelak saat memimpin pun pastinya akan tega melakukan tindakan buruk untuk kepentingannya sendiri. Jhony mempengaruhi massa agar bergerak menegakkan kebenaran dan keadilan dengan menggagalkan hasil pilkades yang memenangkan Somad.
Babak Mawas Diri
Karyo mendatangi Pak Gendut seorang anggota polisi, Mbah Modin, Pak Somad, dan Parjo, para tokoh masyarakat yang tengah berada di lokasi kerusuhan memantau situasi. Karyo langsung nyemprot para tokoh itu yang tidak bergerak apa-apa bahkan seakan menikmati kerusuhan yang sedang terjadi. Pak Gendut didesak supaya segera bergerak meredam kerusuhan. Tidak semudah itu. Menghentikan kekerasan mustahil tanpa cara tegas dan keras. Memangnya menghentikan kerusuhan cukup dengan pidato atau memohon-mohon? Tapi kalau menggunakan cara tegas dan keras, polisi harus berhadapan dengan pasal-pasal HAM. Polisi akan dihujat dan disalahkan oleh siapa saja karena menggunakan kekerasan. Polisi bergerak salah, tidak bergerak juga salah. Terus terang, di negara ini polisi pun hanya bisa serba salah.
Karyo bingung. Ia mendesak pak Somad sebagai lurah yang baru harus bisa mengendalikan situasi. Pak Somad pun berkilah, karena ia pejabat baru dan belum menguasai medan,ia perlu mempelajari situasi dan kondisi terlebih dahulu, berkoordinasi, baru bisa menentukan tindakan yang harus diambil. Karyo lantas bepaling ke Mbah Modin, sesepuh agama desa Bangunjiwo itu diminta meredam kerusuhan. Sebab sebagian yang bergerak memicu huru-hara itu orang-orangnya Mbah Modin.
Mbah Modin berkilah, bahwa itu aspirasi mereka umat yang ingin menegakkan kebenaran. Jadi ia tidak bisa menyetir umatnya yang bergerak karena mereka mengikuti kata hati membela kebenaran.
Benarkah? Betulkah ratusan hingga ribuan kepala serempak punya rasa dan pikiran yang sama? Tidak! Tidak ada gerakan massa terarah tanpa desain. Siapa yang mendesain? Untuk apa Mbah Modin mendesain gerakan anarkhistis? Bukankah agama apa pun mengajarkan mengedepankan cara-cara jernih dan damai? Intinya, Karyo tahu bahwa Mbah Modin sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena ia menjadi bagian dari masalah yang terjadi.
Terakhir Karyo berpaling kepada Parjo yang anggota TNI, agar ambil inisiatif bergerak meredam kerusuhan. Parjo berkilah, bukan ranah tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenangnya ada di wilayah pertahanan dan keamanan negara. Urusan kamtibmas adalah job desknya kepolisian. TNI hanya punya wewenang memback up, artinya ia bergerak membantu polisi kalau ada permintaan dari pihak kepolisian. Jika bergerak sendiri, TNI akan menyalahi prosedur dan tentu akan dipersalahkan oleh semua orang.
Benarkah? Betulkah ratusan hingga ribuan kepala serempak punya rasa dan pikiran yang sama? Tidak! Tidak ada gerakan massa terarah tanpa desain. Siapa yang mendesain? Untuk apa Mbah Modin mendesain gerakan anarkhistis? Bukankah agama apa pun mengajarkan mengedepankan cara-cara jernih dan damai? Intinya, Karyo tahu bahwa Mbah Modin sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena ia menjadi bagian dari masalah yang terjadi.
Terakhir Karyo berpaling kepada Parjo yang anggota TNI, agar ambil inisiatif bergerak meredam kerusuhan. Parjo berkilah, bukan ranah tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenangnya ada di wilayah pertahanan dan keamanan negara. Urusan kamtibmas adalah job desknya kepolisian. TNI hanya punya wewenang memback up, artinya ia bergerak membantu polisi kalau ada permintaan dari pihak kepolisian. Jika bergerak sendiri, TNI akan menyalahi prosedur dan tentu akan dipersalahkan oleh semua orang.
Karyo sudah benar-benar tak habis pikir. Di kerusuhan itu, rakyat saling berbenturan. Setiap saat nyawa mereka bisa melayang tanpa mau menunggu keputusan rapat-perdebatan prosedur hukum.
Yang benar, mungkin bangsa ini sedang nyenyak bermimpi. Bermimpi berdemokrasi, bermimpi bernegara, bermimpi menjadi bangsa besar. Semua itu baru sebatas mimpi. Faktanya kita belum bisa berdemokrasi, kita belum bisa bernegara, kita belum bisa berdaulat, kebanyakan warga bangsa dan rakyat kita masih mudah tunduk dipermainkan kepentingan asing maupun elitis negeri yang sesat. Kita punya Pancasila, tapi silau dengan demokrasi liberal yang tidak kita mengerti. Kita punya NKRI tapi tak mengerti makna NKRI sehingga kita mudah pecah, mudah terbelah, dan mudah berkhianat tehadap bangsa dan negara.
Yang benar, mungkin bangsa ini sedang nyenyak bermimpi. Bermimpi berdemokrasi, bermimpi bernegara, bermimpi menjadi bangsa besar. Semua itu baru sebatas mimpi. Faktanya kita belum bisa berdemokrasi, kita belum bisa bernegara, kita belum bisa berdaulat, kebanyakan warga bangsa dan rakyat kita masih mudah tunduk dipermainkan kepentingan asing maupun elitis negeri yang sesat. Kita punya Pancasila, tapi silau dengan demokrasi liberal yang tidak kita mengerti. Kita punya NKRI tapi tak mengerti makna NKRI sehingga kita mudah pecah, mudah terbelah, dan mudah berkhianat tehadap bangsa dan negara.
Saatnya bangsa ini sadar. Kesadaran akan muncul ketika kita mau mawas diri. Jujur melihat kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Mawas diri sangat diperlukan agar muncul tekad dan keberanian melakukan perubahan. Berubah dari bangsa jongos menjadi bangsa berdaulat. Berubah dari bangsa miskin menjadi bangsa sejahtera. Berubah dari bangsa hina menjadi bangsa bermartabat. Sebuah perubahan besar dan mendasar. Untuk itu bangsa ini harus berani mengambil resiko, juga harus melahirkan pemimpin yang berani ambil resiko. Globalisasi gelombang tiga akan mendobrak pintu peradaban negara ini. Kalau seluruh elemen bangsa ini tidak siap melakukan perubahan besar dan mendasar, maka nasib negara pun tidak mustahil segera bubar.