Senin, 26 Oktober 2015

Mawas Diri Menakar Berani

 
Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah yang diselenggarakan di gedung Balairung Universitas PGRI Semarang untuk memeriahkan bulan Bahasa pada tanggal 19 Oktober 2015 berlangsung ramai. Acara yang di mulai pukul 09.00 WIB berjalan cukup lancar. Pada awal acara diisi kegiatan  amal yang diawali oleh pembawa acara membuat gempar penonton di Balairung karena tantangan yang di berikan kepada dosen dan mahasiswa UPGRIS. Hasil dari tantangan yang terkumpul yaitu berupa uang senilai Rp.570.000,00 dan akan digunakan untuk kegiatan sosial. Setelah menunggu beberapa menit, bapak Dr. Muhdi, SH., M.Hum. selaku Rektor Unniversitas PGRI Semarang memberikan sambutan dan di lanjutkan sambutan singkat oleh Ketua YPLPP. Kemudian setelah sambutan dilanjutkan acara nonton wayang kampung sebelah dengan tema “Mawas Diri Menakar Berani” yang didalangi oleh Ki Jlitheng Suparman.
Pemilihan Kepala Desa
Di sebuah desa yang bernama Desa Bangun Jiwo sedang terjadi musim kampanye. Awal kisah ini adalah adanya salah seorang kandidat calon kepala desa yang bernama pak Klungsur yang berniat hendak menghilangkan kesengsaraan di desa tersebut. Setelah pemilihan selesai,mbah Sidik memimpin penghitungan suara pilkades. Mendadak papan tulis untuk mencatat penghitungan suara hilang. Parjo selaku kepala keamanan ditanya oleh mbah sidik kebingungan karena tak tahu keberadaan papan tulis tersebut. Begitu pun Sodrun ketika ditanya malah salah persepsi merasa dituding sebagai biang hilangnya papan tulis. Usut punya usut, papan tulis itu ternyata disimpan kembali oleh Suto Coro sebagai kepala rumah tangga kelurahan. Ia tidak merasa bersalah menyimpan kembali papan tulis itu karena panitia menggunakan peralatan kantor kelurahan tanpa seijin dia. Terjadi perdebatan sengit antara Suto Coro dan Mbah Sidik yang berakhir dengan kesanggupan Suto Coro meminjamkan papan tulis.
Parjo memberikan hasil penghitungan suara yang sudah dilakukan saat Mbah Sidik sibuk berurusan dengan papan tulis. Mbah Sidik lantas membacakan hasil penghitungan suara yang menempatkan Somad sebagai pemenang pilkades. Somad diminta menandatangani berita acara penetapan pemenang, sambil secara tersamar Mbah Sidik meminta bonus upaya pemenangan kepada Somad. Parjo mempertanyakan posisi Mbah Sidik yang sebagai panitia ternyata diam-diam memihak dengan money politik kepada salah satu kontestan. Jika ketahuan orang maka niscaya akan menuai masalah. Mbah Sidik sudah siap dengan resiko itu, siapa pun yang memprotes tindakannya akan dilabraknya.
Kampret bertandang ke rumah Karyo mengajak ngobrol tentang suksesnya pilkades dengan pemenang Pak Somad. Karyo menanggapi dingin. Gegap gempitanya pesta demokrasi pilkades dia yakini tak mengubah apa-apa. Demokrasi di desa Bangunjiwo adalah wajah demokrasi negara ini. Hasilnya, Karyo tetap saja melarat. Pendidikan dan kesehatan tetap saja mahal. Korupsi makin merajalela. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Hutang negara bukan berkurang malah makin membengkak. Negara ini kaya raya, kekayaan itu semestinya berlebih kalau sekedar untuk menyejahterakan rakyat. Ironisnya segala bentuk bantuan atau subsidi untuk orang miskin bukan berasal dari kekayaan negara melainkan dana hutang atau pinjaman dari luar negeri. Lantas kemana menguapnya seluruh kekayaan negara ini? Sebentar lagi BBM mau naik, tentu harga semua barang nggak mungkin diam saja, pasti ikut meroket. Artinya, perhatian untuk rakyat miskin tak lebih bermakna hiburan sesaat bagi rakyat yang sekarat. Karyo dan seluruh rakyat miskin di negara ini lantas bisa apa? Mau mengadu ke siapa? Mau berlindung ke mana? 
Untuk jeda dari kepenatan beban pikir, Kampret mengajak Karyo menyaksikan panggung hiburan dalam rangka tasyakuran kemenangan Somad sebagai lurah baru Desa Bangunjiwo. 

Ketika tasyakuran,diadakanlah sebuah hiburan.Sederet artis berkiprah di atas panggung menghibur penonton yang memadati acara tasyakuran Lurah Somad,antara lain Bang koma ra mari-mari,Syahmarni,Bob Marna,dan Minul darah tinggi.Tiba-tiba Jhony naik ke atas panggung. Ia berorasi mengecam dan memprotes kemenangan Lurah Somad yang dianggap penuh kecurangan. Apa jadinya desa ini jika dipimpin oleh orang yang sejak berangkat meraih jabatan telah menghalalkan kecurangan. Kelak saat memimpin pun pastinya akan tega melakukan tindakan buruk untuk kepentingannya sendiri. Jhony mempengaruhi massa agar bergerak menegakkan kebenaran dan keadilan dengan menggagalkan hasil pilkades yang memenangkan Somad.

Babak Mawas Diri
Karyo mendatangi Pak Gendut seorang anggota polisi, Mbah Modin, Pak Somad, dan Parjo, para tokoh masyarakat yang tengah berada di lokasi kerusuhan memantau situasi. Karyo langsung nyemprot para tokoh itu yang tidak bergerak apa-apa bahkan seakan menikmati kerusuhan yang sedang terjadi. Pak Gendut didesak supaya segera bergerak meredam kerusuhan. Tidak semudah itu. Menghentikan kekerasan mustahil tanpa cara tegas dan keras. Memangnya menghentikan kerusuhan cukup dengan pidato atau memohon-mohon? Tapi kalau menggunakan cara tegas dan keras, polisi harus berhadapan dengan pasal-pasal HAM. Polisi akan dihujat dan disalahkan oleh siapa saja karena menggunakan kekerasan. Polisi bergerak salah, tidak bergerak juga salah. Terus terang, di negara ini polisi pun hanya bisa serba salah.
Karyo bingung. Ia mendesak pak Somad sebagai lurah yang baru harus bisa mengendalikan situasi. Pak Somad pun berkilah, karena ia pejabat baru dan belum menguasai medan,ia perlu mempelajari situasi dan kondisi terlebih dahulu, berkoordinasi, baru bisa menentukan tindakan yang harus diambil. Karyo lantas bepaling ke Mbah Modin, sesepuh agama desa Bangunjiwo itu diminta meredam kerusuhan. Sebab sebagian yang bergerak memicu huru-hara itu orang-orangnya Mbah Modin.
Mbah Modin berkilah, bahwa itu aspirasi mereka umat yang ingin menegakkan kebenaran. Jadi ia tidak bisa menyetir umatnya yang bergerak karena mereka mengikuti kata hati membela kebenaran.
Benarkah? Betulkah ratusan hingga ribuan kepala serempak punya rasa dan pikiran yang sama? Tidak! Tidak ada gerakan massa terarah tanpa desain. Siapa yang mendesain? Untuk apa Mbah Modin mendesain gerakan anarkhistis? Bukankah agama apa pun mengajarkan mengedepankan cara-cara jernih dan damai? Intinya, Karyo tahu bahwa Mbah Modin sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena ia menjadi bagian dari masalah yang terjadi.
Terakhir Karyo berpaling kepada Parjo yang anggota TNI, agar ambil inisiatif bergerak meredam kerusuhan. Parjo berkilah, bukan ranah tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenangnya ada di wilayah pertahanan dan keamanan negara. Urusan kamtibmas adalah job desknya kepolisian. TNI hanya punya wewenang memback up, artinya ia bergerak membantu polisi kalau ada permintaan dari pihak kepolisian. Jika bergerak sendiri, TNI akan menyalahi prosedur dan tentu akan dipersalahkan oleh semua orang. 
Karyo sudah benar-benar tak habis pikir. Di kerusuhan itu, rakyat saling berbenturan. Setiap saat nyawa mereka bisa melayang tanpa mau menunggu keputusan rapat-perdebatan prosedur hukum. 
Yang benar, mungkin bangsa ini sedang nyenyak bermimpi. Bermimpi berdemokrasi, bermimpi bernegara, bermimpi menjadi bangsa besar. Semua itu baru sebatas mimpi. Faktanya kita belum bisa berdemokrasi, kita belum bisa bernegara, kita belum bisa berdaulat, kebanyakan warga bangsa dan rakyat kita masih mudah tunduk dipermainkan kepentingan asing maupun elitis negeri yang sesat. Kita punya Pancasila, tapi silau dengan demokrasi liberal yang tidak kita mengerti. Kita punya NKRI tapi tak mengerti makna NKRI sehingga kita mudah pecah, mudah terbelah, dan mudah berkhianat tehadap bangsa dan negara. 
Saatnya bangsa ini sadar. Kesadaran akan muncul ketika kita mau mawas diri. Jujur melihat kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Mawas diri sangat diperlukan agar muncul tekad dan keberanian melakukan perubahan. Berubah dari bangsa jongos menjadi bangsa berdaulat. Berubah dari bangsa miskin menjadi bangsa sejahtera. Berubah dari bangsa hina menjadi bangsa bermartabat. Sebuah perubahan besar dan mendasar. Untuk itu bangsa ini harus berani mengambil resiko, juga harus melahirkan pemimpin yang berani ambil resiko. Globalisasi gelombang tiga akan mendobrak pintu peradaban negara ini. Kalau seluruh elemen bangsa ini tidak siap melakukan perubahan besar dan mendasar, maka nasib negara pun tidak mustahil segera bubar.

Selasa, 20 Oktober 2015

SOEKARNO


Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang dilahirkan di Surabaya,6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai. Soekarno memiliki nama asli Koesno Sosrodihardjo, nama itu diubah menjadi Soekarno disebabkan karena ketika kecil ia sering sakit-sakitan. Ia memiliki istri yang bernama Inggit Garnasih dan Fatmawati, dari pernikahan dengan Fatmawati ia dikaruniai lima orang anak.
Saat ia dewasa, Soekarno mendapatkan gelar Insinyur (Ir) pada tanggal 25 Mei. Kemudian ia mendirikan sebuah Partai Nasional Indonesia pada tanggal 4 Juli 1927 dan kemudian mengamalkan ajaran Marhaenisme. Tujuan dari pembentukan Partai Nasional Indonesia adalah agar bangsa Indonesia bisa merdeka dan terlepas dari jajahan Belanda.
Dari keberaniannya ini pada bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke Penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.
Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Dan pada bulan Agustus 1933 Soekarno kembali ditangkap dan diasingkan ke Flores. Karena jauhnya tempat pengasingan, soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya. Namun semangat Soekarno tetap membara. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Pada awal masa penjajahan Jepang, (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk mengamankan keberadaannya di Indonesia. Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh-tokoh Indonesia seperti Soekarno,Mohammad Hatta,dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno,Mohammad Hatta,dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohit. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran kepada tiga tokh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkeju, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap sebagai keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauci,pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri. Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerjasama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha. Setelah menemui Marsekal Terauchi,terjadilah peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Tokoh yang membujuk antara lain Soekarni,Wikana,Singgih,serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan sekutu belum tiba. Namun Soekarno,Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wkil Presiden Republik Indonesia.

Selasa, 13 Oktober 2015

Mengancam Kenangan “Tulis apa yang kau lihat. Bukan apa yang kau pikirkan!”




Ada lima tokoh dalam adegan, ketiga tokoh saling bergantian menutup mata dan yang lainnya menjadi patung yang tertutupi oleh penutup plastik.
Salah seorang wanita berperan sebagai ibu, ia memegang sapu dan memukul-mukulkan sapu tersebut pada sebuah kotak yang terdapat di panggung.
Keempat pemain lainnya menggunakan jubah bermotif warna-warni yang kemudian asyik bermain-main, sedangkan wanita yang memegang sapu hanya duduk membelakanginya. Wanita itu berdiri lalu mondar-mandir sambil memegang tali dan berbicara padanya layaknya berbicara terhadap orang. Wanita itu kebingungan sambil mengepal-ngepalkan tangannya.
Keempat pemain bermain-main, mereka bermain loncat tali, kemudian si wanita berjalan mendekati mereka dan diam termenung sambil berdiri, mereka kemudian mengitari wanita tersebut sambil berteriak berucap yang membuat wanita itu semakin gelisah dan menutup telinganya.
Ada seorang pria yang berjalan membelakangi tokoh lain sambil memegang sebuah koper, dan kedua pemain lainnya,ada pula lelaki dan wanita yang sedang bergandengan tangan sambil berjalan membelakangi penonton. Si wanita tadi berlutut dan tangannya diikat oleh tangan pemain lain yang menggunakan jubah warna-warni.
Lelaki yang berjalan bersama perempuan itu kemudian menuju sebuah pose berbentuk tubuh seseorang sambil memeluk pose tersebut, si perempuan tadi berdiri diatas kotak sambil memerankan peran bahwa dia lah yang sedang dipeluk. Kemudian lelaki tadi mengambil pisau dan menancapkannya di tubuh pose tersebut dan bagian yang ditusuk tersebut mengeluarkan air. Lagi, pria tersebut menancapkan pisau tersebut terus menerus. Si perempuan beradegan bahwa dia lah yang merasa kesakitan saat pria tersebut menusuk pose tersebut.
Wanita itu berjalan menghampiri pose yang masih mengucurkan air tersebut, dibawahnya sedang duduk lelaki dan pria yang memakai topi. Kemudian wanita tersebut menarik kotak yang berisi air, kemudian mengguyurkannya perlahan pada pose tersebut dan lelaki dan pria tersebut basah oleh air guyuran itu. Si wanita semakin menjadi-jadi dan semakin cepat mengguyurkan air tersebut sambil gemetar tubuhnya.







Pemahaman cerita:
Di pagi hari ada seorang wanita yang sedang menyapu teras rumahnya serta senantiasa membersihkan pigura-pigura yang ada didalam rumahnya,setiap hari ia melakukan pekerjaan itu hingga debu pun hafal akan rutinitasnya. Di waktu yang bersamaan ia terdiam dengan membayangkan masalalu kelamnya ketika suaminya di rebut oleh serdadu-serdadu bertopi panci (tentara). Ia hanya dapat mengenang masalalu manis ketika bersama suaminya tersebut, kenangan tersebut adalah ketiga pigura yang ia bersihkan setiap paginya, pigura yang tidak akan pernah terusik dari tempatnya berada, dan akan menjadi saksi dari kisah masalalunya
Seperti itulah sebuah kenangan. Ia berusaha menghapus kenangan kelamnya bagai mengguyurkan air agar debu-debu kesedihan itu hilang, namun masih tetap sama, kenangan itu tak kunjung pergi meski ia terus mencoba menghapusnya.
Waktu berlalu, wanita itu sudah mulai nampak lemah, ia seperti orang yang tak memiliki kekuatan untuk hidup, hanya satu yang ia inginkan, yaitu lupa atas kenangan itu. Namun ia sama sekali tak mampu untuk melakukannya. Wanita tersebut selalu berusaha tegar ketika anaknya bertanya perihal keberadaan ayahnya yang ia sendiri tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana cara menjawabnya.
Di pagi berikutnya, wanita tersebut mulai lelah dengan kenangan yang selalu menghantuinya, ia enggan membersihkan pigura-pigura yang biasa ia bersihkan di setiap paginya. Sang anak pun kembali menanyakan keberadaan ayahnya, namun tetap sama dengan sebelumnya, wanita tersebut tak dapat bercerita kepada sang anak dimanakah ayahnya berada, maka anak tersebut memutuskan untuk pergi meninggalkan sang wanita tersebut bersama dengan perempuan yang dipilihnya. Namun ternyata pilihan untuk meninggalkan wanita itu ternyata salah, karena perempuan yang dipilihnya tersebut juga tak mampu tuk bercerita kepadanya.
Setelah kepergian dari sang anak, wanita tersebut menanti kehadiran anak lelaki yang masih belum menyadari bahwa wanita tersebut menunggunya, anak lelaki tersebut hanya menyadari bahwa ada perempuan lain yang sudah ada didalam hidupnya untuk membuatkannya sebuah kenangan. Namun pada akhirnya sang anak mulai menyadari dan kembali kerumah sang wanita tersebut dengan membawa pertanyaan serupa tentang keberadaan sang ayah. Wanita tersebut hanya dapat menjelaskan bahwa kenangan adalah masalalu dari tiap-tiap insan, cara terbaik dalam menyikapi kenangan itu sendiri adalah dengan ikhlas menerima kenangan yang ada pada sisa hidupmu.