Nama : Dwi Winarni
Kelas : 1-D
NPM : 15410148
Dari berbagai banyaknya media yang bermunculan, televisi merupakan sarana yang paling mudah dijangkau oleh kalangan masyarakat. Bukan hanya tampilan modelnya saja yang menarik, namun beragam sarana hiburan dapat ditonton oleh semua kalangan, tidak hanya bagi anak-anak saja, tetapi remaja, dewasa, bahkan orangtua pun dapat menikmati hiburan yang ada. Dengan adanya televisi, maka seolah-olah dunia sedang menari-nari di depan mata yang dapat kita nikmati kapanpun kita ingin menontonnya.
Dahulunya, televisi hanya digunakan sebagai media informasi dan hiburan. Namun dengan seiring berjalannya waktu, perkembangan media penyiaran semakin melejit, tidak hanya ada satu ataupun dua stasiun televisi saja yang ditayangkan, namun kini sudah ada belasan bahkan puluhan stasiun televisi yang sudah terpancar di seluruh pelosok nusantara yang dapat kita nikmati acaranya. Maka tak diherankan lagi, persaingan untuk mempopulerkan dari masing-masing pihak stasiun televisi semakin ketat, aturan perundangan kini tak lagi diindahkan. Masing-masing pihak hanya mementingkan kepentingan bisnis dan melupakan esensi penting dari penyiaran itu sendiri.
Realita yang kita hadapi kini, penyiaran televisi tidaklah seperti yang seharusnya di tuju, melainkan bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Naif, semua keagresifan dari stasiun televisi tersebut dijadikan panutan. Televisi yang seharusnya menjadi pengusung adab-adab yang berkembang di masyarakat malah berlaku kebalikannya dan justru merusak adab-adab yang sudah ada dari sebelumnya.
Bagi orang yang memiliki tingkat kematangan dalam berfikir, justru akan lebih mampu memilah dan membedakan mana yang harus diambil dan dibuang. Ia akan lebih cepat memilah dari channel apa yang akan dipilih, tayangan apa yang akan ditonton, hingga nilai-nilai kehidupan yang layak dijadikan panutan. Sayangnya, penonton dengan kualitas seperti ini sangat jarang, dan bisa jadi mungkin hanya menempati bilangan minoritas dari keseluruhan penduduk di Indonesia. Maka efek dari itu semua, di era ini bermuncullah kasus-kasus yang tidak terbayangkan. Anak SMP loncat dari lantai mall yang paling atas pasca putus cinta, siswa SMA melakukan aborsi, tawuran, pesta narkoba, pembangkangan terhadap orang tua, tindakan kriminal, dan masih banyak lagi.
Selanjutnya, tentang pelarangan dan pembatasan seksualitas. Faktanya, banyak stasiun televisi yang membenarkannya. Dimana lagi pelaku-pelaku pornografi akan eksis dan dilihat khalayak selain di televisi?. Penampilan seronok, adegan-adegan mesum, perselingkuhan, disajikan kapan saja tanpa memikirkan siapa saja penontonnya, bisa saja anak-anak juga menjadi penonton tayangan yang tidak bermoral tersebut. Ketika mendapat kritik dari pihak yang merasa terganggu dengan tingkah mereka, dengan tanpa malu mereka berdalih “ini hak asasi”.
Kemudian lagi, muncul sebuah acara yang meniru reality show televisi di Amerika Serikat. Sejumlah pria lajang dikumpulkan, dengan berbagai kelebihan yang ia miliki, ia berusaha menjelaskan tentang siapa dirinya di hadapan sekian wanita lajang yang berpenampilan seksi, menggoda, dan siap berlabuh di pelukan pria tersebut dengan satu alasan “cocok”. Acara seperti ini banyak mengundang perhatian kalangan masyarakat, ditepuki, diapresiasi. Padahal sesungguhnya reality show ini tidak lebih dari bertransaksi diri, pembenaran gaya hidup materialistis dan hedonis. Ini sangat bertentangan dengan budaya yang sudah ada di Indonesia.
Lebih dari itu, televisi dengan begitu banyaknya rangkaian acara dan pemberitaannya, dia sudah mengobrak-abrik nilai-nilai moral dan nilai-nilai kehidupan. Moralitas bangsa sudah tak di pedulikan lagi. Mengapresiasi sikap hidup yang kurang tepat, misalnya pernikahan beda agama, pernikahan sesama jenis, hamil di luar nikah, dan lain sebagainya. Padahal inilah yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat..
Atas nama “menarik”. Banyak stasiun televisi yang tidak sungkan menjatuhkan sosok tertentu yang dianggap menguntungkan bagi bisnisnya jika aib orang tersebut diumbar dan dipublikasikan di masyarakat umum sekitar. Televisi dengan tingkat seperti itu seperti bebas leluasa menaikkan atau menurunkan kedudukan atau harkat dan martabat seseorang dengan begitu mudahnya. Terlepas dari siapa saja tangan-tangan jail tak bertanggung jawab yang tersembunyi untuk mengendalikan sebuah penyiaran televisi, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk menjadi sebuah bangsa yang cerdas dan mencerdaskan. Kaum akademisi tak patut berlama-lama di depan televisi, tertawa-tawa, bahkan hingga mengidolakan mereka yang sudah sangat jelas merusak peradaban bangsa ini. Kita wajib untuk mengajak orang-orang di sekitar kita untuk mengganti aktivitas menonton televisi dengan kegiatan yang lebih positif lagi, misalnya dengan membaca, berdiskusi dengan teman, menulis, dan aktivitas bermanfaat lainnya. Selain itu, kepada lembaga yang bertugas mengawasi program penyiaran diharapkan untuk bekerja dengan semestinya. Bukannya malah menjadi parasit bagi negeri ini.